Tugas Mandiri 4

 

 

NAMA: Ibnu Hib’ban

KODE: E-42

 

JudulMenjalin Kebersamaan di Kompleks Harmoni, Cerita Warga yang Mencari Persatuan di Tengah Perbedaan

 

Pendahuluan

Saya memilih Kompleks Perumahan Harmoni di Jakarta Selatan sebagai lokasi observasi karena ini adalah tempat saya tinggal sehari-hari, di mana sekitar 200 keluarga dari berbagai latar belakang hidup berdampingan. Di sini, ada orang-orang dari suku Jawa, Batak, Bugis, dan bahkan pendatang dari luar negeri seperti Filipina, dengan agama yang beragam mulai dari Islam, Kristen, Hindu, hingga Buddha. Saya tertarik mengamati tempat ini karena, di tengah isu polarisasi nasional yang sering muncul di berita, saya ingin melihat bagaimana warga di tingkat akar rumput seperti ini menerapkan konsep integrasi nasional, yaitu "Bhinneka Tunggal Ika". Tujuan observasi saya selama dua minggu ini adalah untuk melatih kepekaan sosial saya dan menganalisis bagaimana interaksi sehari-hari bisa memperkuat atau melemahkan persatuan, sesuai dengan teori integrasi nasional yang menekankan pentingnya toleransi dan kerja sama di masyarakat lokal.

 

Temuan Observasi

Selama observasi, saya melihat berbagai interaksi yang menunjukkan keberagaman dan upaya persatuan. Contoh positifnya, misalnya, setiap akhir pekan, warga mengadakan kerja bakti membersihkan area umum seperti taman dan jalan masuk. Di sana, Pak Ahmad dari suku Jawa dan Bu Maria dari suku Batak bekerja sama tanpa pandang bulu. Pak Ahmad, yang Muslim, sering membawa minuman hangat untuk semua, sementara Bu Maria, yang Kristen, membantu mengatur pembagian tugas. Ini membuat suasana jadi hangat dan inklusif. Lain kali, saat perayaan Idul Fitri, keluarga Bu Siti membagikan ketupat dan opor ayam ke tetangga dari agama lain, dan bahkan ada yang ikut merayakan dengan datang ke rumahnya. Di grup WhatsApp warga, mereka juga sering berbagi info tentang acara budaya, seperti saat keluarga Hindu mengundang semua untuk melihat upacara Galungan, yang membuat kami merasa terhubung melalui kearifan lokal. 

 

Namun, tidak semuanya mulus. Saya juga menemukan contoh negatif yang mengancam persatuan. Misalnya, di grup WhatsApp yang sama, pernah ada komentar kasar tentang perbedaan pilihan politik saat pemilu lalu. Satu warga dari kelompok mayoritas suku menuduh yang lain "tidak nasionalis" karena dukungan partai berbeda, yang nyaris memicu perdebatan panas. Di lapangan, saya perhatikan remaja-remaja cenderung membentuk kelompok eksklusif berdasarkan usia dan suku; misalnya, anak-anak dari suku Batak lebih sering bermain sendiri di taman, sementara yang lain merasa kurang terlibat. Ini menunjukkan potensi konflik yang timbul dari perbedaan status sosial dan kurangnya komunikasi langsung. Secara keseluruhan, observasi ini mengungkapkan bahwa simbol kebangsaan seperti bendera Merah Putih yang dipajang di pintu masuk kompleks bisa menjadi pemersatu, tapi jika tidak diikuti interaksi nyata, perbedaan bisa mengikis rasa bersama.

 

Analisis

           Dari temuan ini, saya bisa menghubungkannya dengan teori integrasi nasional yang saya pelajari, seperti konsep integrasi horizontal dari Myron Weiner, yang menekankan interaksi sehari-hari sebagai kunci membangun kesatuan di masyarakat plural. Praktik positif seperti kerja bakti dan berbagi makanan menjadi pemersatu karena menciptakan ikatan emosional dan kepentingan bersama, seperti menjaga kebersihan lingkungan yang bermanfaat bagi semua. Ini menunjukkan bahwa ketika warga saling terlibat secara rutin, perbedaan suku atau agama justru menjadi kekayaan yang memperkaya pengalaman hidup, bukan penghalang. 

 

Di sisi lain, potensi konflik seperti komentar SARA di media sosial mengingatkan pada teori polarisasi politik dari LIPI, di mana perbedaan opini bisa merembet ke tingkat lokal dan memperburuk ketegangan. Akar masalahnya, menurut analisis saya, lebih pada faktor komunikasi dan ekonomi. Di Kompleks Harmoni, warga dari latar belakang sosial ekonomi rendah cenderung lebih sensitif terhadap isu politik, yang mungkin dipicu oleh ketidakadilan akses pekerjaan atau fasilitas. Selain itu, kurangnya pemimpin yang inklusif, seperti ketua RT yang jarang mengadakan diskusi terbuka, memperburuk situasi. Jadi, integrasi nasional di sini bergantung pada bagaimana perbedaan dikelola melalui dialog yang sehat, bukan diabaikan.

 

Refleksi Diri & Pembelajaran

        Melalui observasi ini, saya belajar banyak tentang diri saya sendiri. Saya sadar bahwa selama ini saya sering jadi "penonton pasif" di lingkungan saya, misalnya, hanya membaca komentar di grup WhatsApp tanpa ikut campur saat ada ketegangan. Tapi sekarang, saya menyadari bahwa lingkungan ini sebenarnya penuh dengan potensi persatuan jika kita aktif berpartisipasi. Sebagai generasi muda yang akrab dengan teknologi, peran saya adalah menjadi penghubung; misalnya, saya bisa menginisiasi acara online atau offline yang melibatkan remaja dari berbagai latar belakang untuk berbagi cerita. Ini membuat saya lebih termotivasi untuk berkontribusi, karena saya paham bahwa persatuan dimulai dari tindakan kecil di sekitar kita.

 

Kesimpulan & Rekomendasi

        Dari observasi ini, saya belajar bahwa integrasi nasional bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan terwujud melalui interaksi harian yang menghargai keberagaman. Di Kompleks Harmoni, praktik positif seperti kerja sama komunal bisa diperkuat untuk mengatasi potensi konflik. Rekomendasi saya adalah: pertama, mengadakan "Hari Kebersamaan" bulanan di mana warga bergantian mempresentasikan budaya mereka melalui makanan atau permainan; kedua, membuat aturan sederhana di grup WhatsApp untuk melarang komentar SARA dan mendorong diskusi positif. Dengan aksi-aksi ini, kita bisa memperkuat persatuan dari tingkat akar rumput.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mandiri 03: Ibnu Hib'ban E42

Tugas Mandiri 02 : Ibnu Hib'ban E42

Tugas Struktur 02 : Ibnu Hib'ban E42