Tugas Mandiri 03: Ibnu Hib'ban E42
Disusun Oleh:
Ibnu Hib’ban
46125010111
A. PENDAHULUAN
Ringkasan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan mengenai pandangan masyarakat terhadap identitas nasional.
Untuk mendapatkan wawasan yang komprehensif, seseorang melakukan wawancara dengan
seseorang bernama Nabila Rifdah Ramadhani, Beliau berusia 18 tahun dan seorang
mahasiswi fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Budi Luhur. Orang ini
dipilih karena latar belakang akademisnya di bidang ilmu sosial dianggap
relevan untuk memberikan perspektif yang mendalam dan terstruktur mengenai
konsep identitas nasional di era sekarang.
B. ISI PEMBAHASAN WAWANCARA
Menurut Nabila Rifdah Ramadhani, Identitas
nasional adalah jiwa atau ciri khas yang menyatukan seluruh rakyat suatu negara
menjadi satu keluarga besar, terbentuk dari bahasa dan budaya yang kita pakai
sehari-hari, sejarah perjuangan pahlawan leluhur yang mengajarkan keberanian serta
persatuan, nilai-nilai bersama seperti gotong royong, toleransi, dan keadilan
yang menjadi panduan hidup, serta simbol-simbol negara seperti bendera dan lagu
kebangsaan yang membangkitkan rasa bangga. Singkatnya, ia seperti akar pohon
yang kuat, menjaga kita tetap tegar meski berasal dari suku atau daerah
berbeda, membuat kita merasa "ini rumahku" dan bangga menjadi bagian
dari bangsa ini.
Secara
umum Identitas nasional itu sebenarnya muncul di mana-mana dalam keseharian
kita, seperti saat kita ngobrol pakai bahasa Indonesia campur daerah lain yang
bikin obrolan jadi akrab, atau lagi makan nasi goreng sambil dengerin lagu-lagu
daerah di spotify maupun youtube yang bikin hati adem. Dan saat tetangga butuh
bantuan bangun rumah, kita langsung gotong royong tanpa pikir Panjang, itu
semangat persatuan bangsa yang turun-temurun. Bahkan saat nonton berita soal
atlet kita menang di ajang internasional, atau pas Hari Kemerdekaan kita
kibarin bendera dan nyanyi Indonesia Raya, rasa bangga itu serta terharu, bikin
kita sadar kita bagian dari satu keluarga besar. Pokoknya, identitas ini bukan
cuma di buku sejarah, tapi hidup di setiap senyum, tawa, dan kerja keras kita
sehari-hari.
Menurut
saya, tantangan terbesar dalam menjaga identitas nasional saat ini adalah
dampak dari globalisasi digital dan arus informasi yang tak terbendung melalui
media sosial. Di era di mana semua orang bisa mengakses konten dari seluruh
dunia hanya dengan satu klik, batas-batas budaya menjadi semakin kabur.
Misalnya, anak muda di Indonesia mungkin lebih familiar dengan tren TikTok dari
Korea Selatan atau nilai-nilai individualisme ala Barat daripada cerita rakyat
lokal atau nilai gotong royong yang menjadi pondasi identitas kita.
Saya percaya generasi muda bisa menjadi duta budaya melalui platform
digital. Bayangkan anak muda yang membuat konten viral di TikTok atau Instagram
tentang tarian tradisional daerah, seperti saman dari Aceh atau pendet dari
Bali, tapi dibuat dengan gaya modern yang menarik bagi audiens global. Ini bukan
hanya melestarikan, tapi juga menyebarkan nilai-nilai seperti gotong royong
atau semangat Bhinneka Tunggal Ika ke seluruh dunia. Saya lihat banyak
contohnya sekarang, seperti komunitas online yang mempromosikan kuliner lokal
atau cerita sejarah Indonesia dengan visual efek yang keren.
C. PENUTUP
·
Kesimpulan:
Dari wawancara dengan Nabila Rifdah Ramadhani, dapat
disimpulkan bahwa identitas nasional Indonesia adalah fondasi persatuan
yang terbentuk dari bahasa, budaya, sejarah, nilai gotong royong, toleransi,
dan simbol negara, yang hidup nyata dalam keseharian masyarakat. Meski
dihadapkan tantangan globalisasi digital yang mengaburkan batas budaya,
generasi muda dapat menjadi duta perubahan melalui konten kreatif di media
sosial untuk melestarikan dan menyebarkan nilai-nilai lokal secara global.
Dengan demikian, memperkuat identitas nasional ini akan menjaga keberagaman
bangsa tetap bersatu di era modern, sesuai semangat Bhinneka Tunggal Ika.
· REFLEKSI MAHASISWA
Melalui wawancara dengan Nabila Rifdah Ramadhani, saya
sebagai mahasiswa merasa semakin sadar betapa identitas nasional bukan hanya
warisan masa lalu, melainkan kekuatan hidup yang harus saya jaga dan terapkan
dalam keseharian. Pandangannya yang sederhana namun mendalam, seperti
membandingkan identitas dengan "akar pohon yang kuat", membuat saya
merefleksikan diri: di tengah rutinitas kuliah dan scroll media sosial, saya
sering kali terlena dengan tren global tanpa menyadari nilai gotong royong atau
toleransi yang sudah tertanam dalam budaya kita. Wawancara ini menginspirasi
saya untuk lebih aktif, misalnya dengan berbagi konten tentang kuliner lokal di
Instagram atau ikut kegiatan komunitas kampus yang mempromosikan Bhinneka
Tunggal Ika. Pada akhirnya, saya yakin bahwa sebagai generasi muda, kita punya
tanggung jawab untuk menjaga identitas nasional agar tetap relevan di era
digital, sehingga bangsa ini terus bersatu dan bangga akan keberagamannya.
Komentar
Posting Komentar